Mubyarto
MEMBANGKITKAN
EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN TINGGI
I. Pendahuluan
Universitas Gadjah Mada
(UGM) sebagai Perguruan Tinggi tertua sesudah kemerdekaan (lahir 19 Desembar
1949) adalah universitas Perjuangan yang berasas kerakyatan. Artinya misi utama
perguruan tinggi di samping Tri Dharma (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penelitian;
dan (3) Pengabdian pada Masyarakat, UGM juga merupakan lembaga (untuk membantu)
perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
dengan asas kerakyatan (demokrasi ekonomi). Dalam pengertian
kerakyatan/demokrasi ekonomi, produksi (dan distribusi) dikerjakan oleh semua
warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat. Kerakyatan
adalah demokrasi sesuai budaya Indonesia dan sebagai sila ke-4 Pancasila
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika banyak orang
berpendapat Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai populer bersama
reformasi 1998-1999 sehingga masuk dalam “GBHN Reformasi”, hal itu bisa
dimengerti karena memang kata ekonomi kerakyatan ini sangat jarang dijadikan
wacana sebelumnya. Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa ekonomi
kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi kapitalis
liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang kemudian terjadi
adalah “reaksi kembali” khususnya dari pakar-pakar ekonomi arus utama yang
menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru”. Strategi dan
kebijakan ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian Indonesia dari
peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah melalui pertuumbuhan
ekonomi tinggi (7% pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang salah adalah praktek
pelaksanaannya bukan teorinya”.
Barangkali cara lain
menerangkan “sejarah” konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan langsung
menunjukkan adanya kata kerakyatan dalam Pancasila (sila ke 4) yang harus
ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di
antara 5 sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam
praktek ekonomi selama era pembangunan ekonomi Orde Baru.
II . KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan
Koperasi Serba Usaha Dosen
Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal 31 Maret 1982 dan
berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14, yang sampai
sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah wajah menjadi
pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon untuk umum. Salah
satu kemajuan Kosudgama yang patut disebut adalah bahwa keanggotaannya kini
menarik orang-orang di luar UGM sendiri, yaitu pegawai UGM bukan dosen, dan
dosen-dosen di luar UGM seperti UPN Veteran, UII, dan sebagainya.
Melonjaknya jumlah anggota
luar biasa dari hanya 13% tahun 1998 menjadi 68% tahun 2001, atau naik 2200%,
memang manakjubkan dan tentu bisa ditanyakan apa faktor penyebabnya. Sebabnya
bukan karena mereka semata-mata tertarik SHU atau dividen yang baik karena SHU
atau dividen mereka itulah yang justru berhasil mengembangkannya.
Faktor utama mengapa anggota berduyun-duyun masuk adalah karena
mereka dengan menjadi anggota merasa kepentingannya terlayani dengan baik,
lebih baik dibanding koperasi atau organisasi ekonomi lain selain Kosudgama.
Kosudgama adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama
(gotongroyong) untuk mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus
meningkatkan kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba
seperti halnya Perseroan Terbatas.
Hal lain yang menarik dari
Kosudgama adalah kemajuan pesat usaha-usahanya yang terjadi justru setelah
krismon 1997, ketika banyak perusahaan khususnya bank-bank swasta berguguran
yang mengakibatkan PHK bagi banyak sarjana-sarjana pegawai bank. Kosudgama
sebaliknya selama 1998-2001 mencatat peningkatan nilai pinjaman kepada anggota
sebagai berikut:
Pelonjakan nilai pinjaman
kepada anggota termasuk anggota luar biasa yang meningkat 7 kali (705%) selama 4
tahun adalah luar biasa, dan perkembangan ini ditambah usaha-usaha lain
menghasilkan SHU yang juga melonjak dari hanya Rp 131 juta tahun 1998 menjadi
Rp 3,04 milyar tahun 2001. Nilai aset total Kosudgama dengan demikian mengalami
peningkatan dari Rp 1,97 milyar tahun 1998 menjadi Rp 22,03 milyar tahun 2001.
Pelajaran apa yang dapat
ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama? Pertama, kesungguhan
kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip
berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan
anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan
kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya
merupakan ukuran utama misi organisasi. Kedua, Kosudgama adalah koperasi
perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun
modal. Ketika Kosudgama berdiri tahun
1982 tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah
bagi dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook)
yang relatif mahal dari luar negeri. Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan
Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari
usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang
kemudian dibantu untuk memenuhinya.
Prinsip kedua ini terus
dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha baru hanya
karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS yang bisa
untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang dibuka harus
merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota, membeli
mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan umum,
dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Demikian kiranya jelas
bahwa Perguruan-perguruan Tinggi lain dapat dengan mudah “meniru” Kosudgama
mendirikan koperasi di kampus masing-masing untuk membangkitkan (sistem)
ekonomi kerakyatan. Syarat untuk berhasil tidak sulit dipenuhi jika koperasi
benar-benar didasarkan pada kebutuhan yang mendesak dari masyarakat kampus,
apakah ia dosen, mahasiswa, atau karyawan. Modal yang dibutuhkan untuk
membiayai usaha memang tidak boleh sepenuhnya digantungkan atau berasal dari
pihak luar koperasi, tetapi harus berasal dari anggota sendiri, meskipun bisa
diangsur sedikit demi sedikit sesuai kemampuan anggota.
III . Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat
Kiranya jelas dari uraian
pengalaman KOSUDGAMA yang digambarkan di atas, bahwa yang dimaksud ekonomi
rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan
konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi
melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk
memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi
yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk
(sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara
langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan
kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak
dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
Ekonomi Rakyat dalam arti
yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang
kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah
dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat
seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh
pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha
menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi mikro
maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa upaya menggali data-data empirik untuk
mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika
dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi
rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya
Menteri Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika
Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun
tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”,
sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai
bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali
bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung.
Jika banyak orang Indonesia
termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia “tidak ada”, atau
tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena mereka (orang awam
maupun ilmuwan) tidak membaca buku-buku sejarah ekonomi Indonesia. Maka kita
patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in
the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity
(Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of
A National Economy (Allen & Unwin & U-Hawaii, 2002). Kedua buku
ditulis dalam rangka lebih memahami ekonomi Indonesia modern sejak Indonesia
Merdeka 1945. Karena tidak ada buku-buku sejarah ekonomi Indonesia, pakar-pakar
ilmu sosial Indonesia termasuk pakar ekonomi tidak mempunyai referensi dalam
menerangkan fenomena-fenomena ekonomi dan sosial masa kini dan dengan demikian
juga tidak dapat memperkirakan akar-akar sejarah permasalahan sosial ekonomi
dewasa ini. Dalam kondisi demikian banyak diantara mereka menggunakan referensi
sejarah ekonomi negara-negara lain yang dianggap relevan, padahal barangkali
mereka sadar referensi tersebut banyak yang tidak relevan.
Dalam pada itu buku-buku
tentang ekonomi atau perekonomian Indonesia yang ditulis oleh pakar-pakar
ekonomi Belanda seperti Boeke dan Furnival tidak dibaca dengan alasan yang
kurang jelas. Perdebatan seru tentang tesis dualisme ekonomi yang terbit
sebagai buku Indonesian Economics (Van Hoeve, 1966), belum pernah secara
lengkap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk didiskusikan dalam
kuliah-kuliah Ekonomi Indonesia. Mata kuliah Ekonomi Indonesia ini oleh
konsorsium Ilmu Ekonomi di Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi telah diubah
menjadi Perekonomian Indonesia, yang tentu saja sekedar membicarakan
fenomena-fenomena dan bekerjanya perekonomian Indonesia Modern, terutama sejak
tahun 1966 (Masa Orde Baru). Penulis buku ini yang mengampu kuliah ekonomi
Indonesia selama 20 tahun terakhir, tetap menyebutnya sebagai Ekonomi
Indonesia, dan mengisinya dengan sejarah perekonomian Indonesia (sejak masa
penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia. Disamping itu dibahas pula
sistem ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran deskriptif
dan analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi monopolistik ala
VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komando ala Tanam Paksa (1830 – 1870),
dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak 1870. Salah satu buku penulis yang
dipakai sebagai buku teks Ekonomi Indonesia berjudul Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (LP3ES, 1988) dan Membangun
Sistem Ekonomi (BPFE, 2000).
Buku Anne Booth, yang
banyak mengacu pada buku-buku sejarah ekonomi penulis-penulis Belanda
menggambarkan dengan baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya
pada bab 7, Market and Entrepreneurs. Perkembangan sistem pasar di
Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang
diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa
kolonialisme (1600 – 1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem
monopoli (monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti
rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya
tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC tidak sama dengan
pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai
kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat
“pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie
diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti
“tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya
yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun
1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk
mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816)
karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di
duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan
sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini
tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia
Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.
Pada tahun 1830 pada saat
pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar
(Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837),
Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan
yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC
karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada
VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga
yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari
sistem pasar.
Selain itu kehidupan rakyat
kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki
tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik
pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan
timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi
yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia,
meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan
besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan
Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam
ini setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus
pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus
berlangsung sampai 1915. Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman
penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi
kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi
pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas
melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan. Undang-undang pertama yang
menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan
perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk
jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet,
teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau
dalam bentuk sewa jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini
mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya,
sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan
perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan
inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di
satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan swasta memperoleh untung
besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak
perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain
penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang
sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan”
terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet
persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan
meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran
rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya.
Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan
pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah
penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia
Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi
krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar.
Tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di Rotterdam,
banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan oleh pelaku
sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda, terutama dalam
pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan
rakyat (smallholder). Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan
lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit
berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian dan
terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang
menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor
(karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik bekerjasama
dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar, bahkan khawatir
rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan
rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi. Demikian
karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar
merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari
Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno,
selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan
upaya-upaya untuk memajukannya. Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat
Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana
ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi koperasi
sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan. Hanya dalam asas
kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu produksi
dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan
diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri. Inilah yang kemudian dijadikan
pedoman umum penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha bersama yang
berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.
Ekonomi rakyat sebagai mata
pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi
terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi
depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda
merugi karena anjlognya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.
The 1920s were the “golden
age” (hujan emas or “golden rain”) for smallholder rubber, long remembered
among rural residents in Palembang, Jambi, and West and South Kalimantan.
Consumption of both local and imported goods quickly increased. The number of
motor cars in Palembang rose from 300 in 1922 to 1300 in 1924 and more than
19000 bicycles and 17000 sewing-machines were imported into Palembang and Jambi
in 1920s ….. Much romantic nostalgia surrounded the hujan emas in the rubber
regions in the Outer islands (Howard Dick et. al,
2002:138).
Pada zaman pendudukan
Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran
dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan
perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di
Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi
gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada
tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat
putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat
Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun
swasta ) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus
ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul
khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang
paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu
terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI
ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah
sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena
tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan
untuk padi tidak, maka di mana pun
petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan
produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini
dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar
pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah
satu industri yang paling sakit di Indonesia.
Demikian sejarah ekonomi
rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak banyak pakar
mengenalnya karena para pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi, memang hanya
menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor industri dengan
hubungan antara faktor-faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan modal serta
teknologi yang jelas dapat diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau
pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar
ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
IV . Peranan Ilmu Ekonomi
Ilmu Ekonomi yang diajarkan
dan diterapkan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II yang dirintis awal oleh
buku Economics An Introductory Analysis (Paul Samuelson dari MIT, 1946,
sekarang tahun 2001 edisi ke-17) dikenal sebagai teori ekonomi Neoklasik.
Isi ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan
bebas Klasik (Homo ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan
ajaran marginal utility dan keseimbangan umum Neoklasik. Tekanan ajaran
ekonomi Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan
asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju keseimbangan dan efisiensi optimal
yang baik bagi semua orang. Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu
oleh aturan-aturan pemerintah yang bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara
keseluruhan akan mencapai kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)
Di Indonesia, sampai dengan
krismon tahun 1997, ilmu ekonomi yang dipahami seperti digambarkan di
atas menduduki tempat terhormat di kalangan ilmu-ilmu sosial. Misalnya insinyur
yang belajar dan mengambil derajat tambahan ilmu ekonomi, dan kemudian bergelar
Dr. Ir, diakui memiliki kemampuan “luar biasa” atau keahlian ekstra karena
disamping teknolog juga masuk “kelompok elit teknokrat ekonomi”.
Satu alasan kuat lain dari
tingginya prestise ilmu ekonomi adalah keberhasilan para Guru Besar Ekonomi
Universitas Indonesia, dan teknokrat ekonomi lain, dalam membangun ekonomi
Indonesia selama Orde Baru (1966-1997). Dalam setiap kabinet, tokoh-tokoh
ekonomi terutama dari FE-UI menduduki pos-pos utama ekonomi seperti Menteri
Keuangan, Perdagangan, dan Industri. Dan BAPPENAS yang ditugasi merancang dan
mengendalikan pembangunan nasional selalu diketuai pakar ekonomi, kecuali sejak
tahun 1993 yang pimpinannya dipercayakan pada 2 Insinyur. Bagi sementara orang,
krismon tahun 1997 yang tidak diduga datangnya justru disebabkan antara lain
karena kepemimpinan tim ekonomi pemerintah tidak lagi dipegang ekonom
“profesional”.
Pemikiran yang ingin kami
kembangkan adalah bahwa krismon 1997 dan ketimpangan ekonomi dan sosial yang
serius sejak pertengahan tahun delapan puluhan, terutama disebabkan oleh
strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan
kurang memperhatikan asas pemerataan dan keadilan. Dan strategi yang “keliru”
ini diterapkan karena ekonom (teknokrat ekonomi) memperoleh kepercayaan
berlebihan dalam penyusunan strategi pembangunan. Terhadap kesimpulan terakhir
para teknokrat banyak yang keberatan karena menurut mereka ajaran dan
nasihat-nasihat yang mereka berikan tidak pernah salah. Yang salah adalah
pelaksanannya, bukan teorinya, lebih-lebih jika diingat bahwa krismon terjadi
setelah tim ekonomi pemerintah semakin dikuasai oleh non-ekonom, khususnya di
BAPPENAS.
Menggugat Ajaran Ekonomi Neoklasik
Mempertanyakan kembali
ajaran ilmu ekonomi Neoklasik tidaklah unik di Indonesia. Gunnar Myrdal (1967)
menyatakan sejak amat awal bahwa teori ekonomi tidak dikembangkan untuk
menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang (under
developed regions). Bagi negara-negara yang disebut terakhir, belakangan
disebut negara-negara selatan, harus dikembangkan teori lain oleh para ekonom
muda dari negara-negara sedang berkembang sendiri. J.H.Boeke, ekonom Belanda,
menyatakan hal yang sama jauh sebelumnya dalam disertasinya tahun 1910, dan
diperkuatnya dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ekonomi kolonial tropik tahun
1930 di Universitas Leiden. Pada tahun 1979 dalam pidato pengukuhan Guru Besar
di Universitas Gadjah Mada, kami secara eksplisit menyatakan bahwa teori
ekonomi Neoklasik bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian tetapi tidak
menolong untuk mengadakan pemerataan dan mewujudkan keadilan. Selanjutnya
mengikuti ajaran Joan Robinson (1962), yang menekankan bahwa ilmu ekonomi
membahas sistem ekonomi, bukan tentang ahli-ahli ekonomi, maka dalam buku Membangunan
Sistem Ekonomi (BPFE, 2000), kami lebih spesifik lagi menunjukkkan bahwa
ideologi Pancasila yang telah diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia harus,
mau tidak mau, dijadikan landasan sistem ekonomi nasional. Maka sistem ekonomi
Indonesia adalah, tidak lain, Sistem Ekonomi Pancasila.
Meskipun secara politis
Pancasila, dan kerakyatan sebagai sila ke-4, sudah diterima dan dapat dijadikan
acuan sistem ekonomi nasional, tokh dalam kenyataan, para pakar, khususnya
pakar ekonomi, merasa sulit atau enggan memasukkannya dalam “model” pembangunan
ekonomi. Lebih-lebih dengan munculnya kembali ajaran liberalisasi dan
globalisasi pertengahan tahun delapan puluhan, yang dijiwai atau diilhami
semangat neoliberalisme, keunikan ideologi Pancasila makin dipertanyakan, dan
dianggap tidak akan mampu menghadapi ideologi global neoliberalisme. “Daripada
susah-susah akan lebih baik kita mengikuti ideologi global Kapitalisme-Neoliberalisme,
yang sejak 1989-1990 memang telah mengalahkan paham saingannya yaitu
Sosialisme.” Demikian sikap menyerah kalah ini banyak menghinggapi tokoh-tokoh
ekonom kita, yang pada awal Orde Baru (1996) pernah sangat percaya perlunya
Indonesia membangun masyarakat sosialisme Pancasila atau Sosialisme berdasarkan
Pancasila (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
Dewasa ini makin banyak ditemukan buku yang
menentang arus globalisasi yang menggunakan teori ekonomi neoklasik dan
diperkuat paham Neo-liberalisme. Perlawanan dan bahkan pemberontakan terhadap
dominasi ajaran/resep-resep IMF dan Bank Dunia dipimpin ekonom-ekonom yang
pernah bekerja di IMF atau Bank Dunia sendiri, yang paling terkenal adalah Joseph
Stiglitz (Ha-Joon Chang, 2001).
The straight forward view
of development as an upward climb, common to all nations but with different
countries at different stages, is misleading and certainly inadequate for the
twenty-first century. (Jonathan M. Harris et al, A
Survey of Sustainable Development, Island Press, 2001) .
Demikian kini tidak hanya
praktek pembangunan yang dipertanyakan, tetapi teori yang melandasi
praktek-praktek pembangunan itu sendiri mulai digugat. Jika tahun 1995 sudah
terbit buku Paul Ormerod berjudul The Death of Economics, kini terbit
lagi buku Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social Sciences
oleh Steve Keen (Pluto Press, Australia, 2001). Buku ini menolak total ajaran
ekonomi Neoklasik, yang disamping benar-benar tak berguna juga pengajarannya
seperti “indoktrinasi”. Dalam buku lain, Economics as Religion
(Pennsylvania State UP, 2001), Robert Nelson juga menolak ajaran Neoklasik yang
sudah menjadi semacam agama.
Beneath the surface of
their economic theorizing, economist are engaged in an act of delivering
religious messages. Correctly understood these messages are seem to be promises
of the true path to a salvation in world to a new heaven on earth. (RH.
Nelson, 2001, h. 20).
Alasan kuat penerimaan dan
penerapan teori ekonomi neoklasik adalah bahwa ia merupakan satu-satunya teori
yang tersedia sehingga “tidak ada alternatif”. Untuk menjawab keberatan
demikian, Debunking Economics secara khusus menutup bukunya dengan
alternatif-alternatif berikut: (Keen, 2001, h.300).
1. Austrian
Economics, yang menerima banyak ajaran ekonomi Neoklasik
kecuali konsep keseimbangan.
2. Post
Keynesian Economics, yang sangat kritis terhadap ajaran Neoklasik
dan menekankan pada pentingnya ketidakpastian.
3. Sraffian
Economics, mendasarkan pada konsep produksi komoditi oleh
komoditi.
4. Complexity
Theory, yang menerapkan konsep dinamika non linear dan teori
kekacauan terhadap isu-isu ekonomi.
5.
Evolutionary
Economics, yang memperlakukan perekonomian sebagai sistem
evolusi ala Darwin.
Dari ke-5 “alternatif”
terhadap teori ekonomi Neoklasik tersebut, teori ekonomi evolusioner mencakup
apa yang dikenal dengan teori ekonomi kelembagaan yang mula-mula diusulkan
Thorstein Veblen (1898), dan kemudian dikembangkan oleh John R. Commons
(1904-1905) di Wisconsin. Ekonomi kelembagaan ala John Commons
menunjukkan betapa teori ekonomi bisa sangat relevan untuk memecahkan
masalah-masalah sosial yang secara nyata dihadapi masyarakat pada waktu dan
tempat tertentu, dan sebaliknya bisa terasa begitu aneh dan mandul pada waktu
dan tempat lain sebagaimana dirasakan 4-5 tahun terakhir di Indonsia.
Menjelang krismon di Indonesia
bulan Juli 1997, 4 tahun setelah Indonesia dipuja-puji sebagai salah satu
“Keajaiban Asia”, karena pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan pembagian
pendapatan “sangat merata”, pakar-pakar ekonomi Indonesia maupun pakar-pakar
ekonomi asing di Indonesia “sesumbar” bahwa tidak mungkin ekonomi Indonesia
mengalami krisis keuangan. “Indonesia bukan Thailand”, dan tahun 2001 dikatakan
“ Indonesia bukan Argentina”. Jika keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia
sering dikatakan karena para teknokrat (ekonom) telah secara cerdas menerapkan
terori ekonomi Neoklasik, maka krismon tentunya tidak mungkin melanda Indonesia
yang memiliki fundamental ekonomi kuat seperti inflasi rendah, cadangan
devisa kuat, dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sesungguhnya kasus Indonesia
menunjukkan kelemahan teori ekonomi neoklasik yang tidak mampu memberikan
peringatan dini akan ancaman bahaya krismon padahal sejumlah ilmuwan sosial
lain khususnya sosiolog dan anthropolog sudah berulang kali mengingatkannya.
Kami sendiri pada tahun 1981 menulis artikel “keras” yang mengingatkan bahaya
“penyakit kanker” yang sudah menyerang ekonomi Indonesia, tetapi dianggap para
ekonom Neoklasik sebagai dagelan yang tidak lucu atau teori ekonomi yang
“ngawur”. Demikian pada editorial majalah “Business News” (4 Agustus
1984) pandangan kami tentang “Ekonomi Pancasila” diputar balik dan dianggap
“menolak pertumbuhan”, sehingga “tidak laku di Jakarta”.
V . Pengajaran Ilmu Ekonomi
Satu kesalahan besar yang
berubah menjadi semacam dosa dari dosen-dosen pengajar ekonomi di
Universitas-universitas di Indonesia adalah bahwa mereka hanya mengajarkan
separo saja dari ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia
Sosial (homosocialis, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan
ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji
secara membabi buta. Menurut konsep terakhir manusia bersifat egois dan selfish,
yang tidak pernah mau tahu kepentingan orang lain meskipun yang benar adalah
sebaliknya :
Man it has been said, has a natural love for
society, and desires that the union of mankind should be preserved for its own
sake, and though the himself was to derive no benefit form it. (Adam Smith,
1759 h. 9).
Dosa ke-2 dari dosen-dosen
ilmu ekonomi adalah mengajarkan secara penuh metode analisis deduktif
dari teori ekonomi neoklasik, padahal seharusnya disadari bahwa Alfred Marshall
dan Gustave Schmoller sebelumnya, yang merupakan tokoh-tokoh teori ekonomi
Neoklasik, memesankan secara sungguh-sungguh dipakainya dua metode secara
serentak (deduktif dan induktif), laksana 2 kaki (kanan dan kiri) untuk
berjalan. Ajaran asli Mazhab sejarah Jerman inilah yang sesungguhnya dan
seharusnya mengingatkan peristiwa pergulatan metode (metodensreit) pakar-pakar
ekonomi tahun 1873-1874 dalam penggunaan model-model matematika yang kebablasan
dan sekaligus mengabaikan data-data sejarah yang relevan. Mengajarkan ilmu
ekonomi matematika (matematika ekonomi) dianggap lebih gagah dibandingkan
keharusan membaca data-data sejarah dalam buku-buku tebal, meskipun jelas
mempelajari sejarah lebih relevan. Selain itu mengajar ekonomika secara induktif-empirik
memang membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak, dan jika waktu sangat
mendesak atau terbatas, maka mengajar dengan metode deduktif memang merupakan
pilihan yang mudah.
Kita tentu berterima kasih
dan bersyukur ada ilmu sosial yang bernama ilmu ekonomi yang telah berjasa
membantu manusia menyusun resep-resep dan model-model yang semakin canggih
untuk membangun perekonomian modern, dengan akibat standar kehidupan manusia
juga semakin tinggi. Ekonomi Indonesia yang pada tahun-tahun awal kemerdekaan
selama dua dasawarsa (1945-1966) merupakan perekonomian agraris yang terbelakang,
kini sudah jauh lebih maju dan modern dengan standar hidup manusia rata-rata
hampir 10 kali lipat. Pertanyaannya, apakah kemajuan tersebut merupakan jasa
Ilmu Ekonomi? Mungkin lebih tepat pertanyaannya diubah menjadi sejauh mana ilmu
ekonomi telah menyumbang pada kemajuan tersebut. Jika jawaban atas pertanyaan
ini negatif, artinya sumbangan ilmu ekonomi hanya kecil saja dibanding
ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu-ilmu teknik, pertanian, atau kesehatan, maka
tidak ada masalah. Masalah akan timbul jika ilmu ekonomi dikatakan berperan
sangat besar dan menentukan dalam
pembangunan nasional terutama sejak Orde Baru, dengan keterangan lebih lanjut
bahwa para teknokrat ekonomilah yang telah berjasa besar, karena mereka
menduduki posisi-posisi kunci dalam pemerintahan dan lembaga perencanaan
ekonomi serta menjadi penetu-penentu kebijaksanaan pembangunan.
Memang tidak mungkin kita
berteori seandainya pada awal Orde Baru bukan ekonom, tetapi sosiolog atau
anthropolog yang lebih berperanan, apakah hasilnya akan berbeda, lebih baik
atau lebih buruk. Namun jika era Orde Baru kini dianggap telah berakhir dan
kini kita mengadakan reformasi dalam segala bidang termasuk reformasi ekonomi,
tidak sahkah jika kita juga menggugat yang salah dalam pembangunan ekonomi, dan
peranan ilmu ekonomi di dalamnya? Lebih jauh kiranya kita berhak mempertanyakan
jangan-jangan jika ilmu ekonomi jenis lain yang kita terapkan dan kita ajarkan
di Indonesia sejak lahirnya fakultas-fakultas ekonomi, kondisi masyarakat
(ekonomi) kita lebih baik dari sekarang. Ilmu ekonomi lain sudah ada dan
berkembang di dunia termasuk di Amerika Serikat, hanya saja karena ilmu ekonomi
Neoklasik memang memegang monopoli untuk diajarkan di AS dan negara Eropa Barat
lain, maka ilmu ekonomi itulah yang juga diajarkan dan diterapkan di Indonesia
dan negara-negara berkembang lain.
Salah satu kelemahan amat
menonjol dari Ilmu Ekonomi Neoklasik adalah keengganannya untuk memasukkan
faktor budaya dan masalah keadilan dalam model analisisnya. Bagi Indonesia yang
berideologi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila, maka pembangunan ekonomi dan ilmu ekonomi
yang melandasi penyusunan kebijakan-kebijakan harus mempertimbangkan faktor
keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dan ilmu ekonomi yang diajarkan di
Fakultas-fakultas Ekonomi haruslah ilmu ekonomi kelembagaan ajaran John R.
Commons yang dikembangkan di University of Wisconsin Madison tahun 1904-05.
VI . KESIMPULAN
Satu tahun menjelang
pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa sarjana-sarjana ekonomi
yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda dengan sarjana-sarjana
ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan memecahkan masalah-masalah
sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana ekonomi seringkali tidak
menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir ekonomi dalam menyusun
rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan masayarakat di daerah.
Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak dipimpin sarjana ekonomi,
mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol berpikir tentang ekonomi. Tidak
jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih cerdas berpikir ekonomi dan
mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang rasional ketimbang sarjana
ekonomi.
Kesimpulan kita adalah
bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam (vigorous),
kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi jika kemudian timbul kesan
bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar
untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang
lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia adalah homo-economicus
cenderung mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan
kepentingan orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi
mengajarkan keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik
kepentingan ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi
rakyat, para sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak
konglomerat. Dan lebih gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau
melawan konglomerat, dianggap bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan
upah minimum propinsi (UMP) tidak diragukan bahwa jika tidak mau di sebut
“bukan ekonom” anda harus berpihak pada majikan /pengusaha karena pemaksaan
kenaikan UMP “pasti berakibat pada meluasnya penggangguran”.
Sekiranya sebagian dosen
Fakultas Ekonomi tidak sependapat dengan pandangan atau keprihatinan kami, dan
tetap bersikukuh bahwa sarjana-sarjana ekonomi didikan kita sudah memenuhi
“standar internasional”, yaitu penguasaan teori-teori ekonomi secara memadai,
maka keprihatinan kami bergeser pada pertanyaan mengapa kita tidak berusaha
keras menghasilkan sarjana ekonomi Indonesia yang benar-benar mampu memecahkan
masalah-masalah ekonomi kongkrit yang dihadapi bangsa Indonesia. Mengapa dalam
upaya pemulihan ekonomi kita tim ekonomi
pemerintah atau para ekonom di EKUIN atau BAPPENAS dikabarkan selalu
menyatakan “tidak ada jalan lain” kecuali dengan cara berhutang lagi, atau
merangsang investor-investor asing baru?
Dalam menghadapi
globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin mencolok
dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia.
Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi
Indonesia menganggap bahwa globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter
productive” jika kita mati-matian melawannya. Benarkah demikian? Mengapa
kini banyak buku-buku “anti globalisasi” diterbitkan, dan sejumlah tokoh
ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz “memberontak” terhadap cara-cara
IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara miskin.
Mungkin masih tetap banyak
yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi di Universitas
telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan
“ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap merasa tak bersalah,
kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya sedikit, yang setuju
dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak rekan-rekan lainnya yang belum masuk barisan untuk memperkuat
barisan. Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori
ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial
harus kita “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa
Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat.
Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi
harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi,
dan etika Pancasila.
Juli 2002
Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM
BACAAN
-
James A. Caporaso & David P. Levine, 1992. Theories of Political Economy,
Cambridge University Press, Cambridge.
-
Paul Ekins & Manfred Max-Neef (ed). 1992, Real-Life Economics,
Routledge. London-New York.
-
Steve Keen, 2001. Debunking Economics, Pluto Press-Zed Books, New York.
-
Daniel B. Klein (ed), 1999, What Do Economists Contribute, New York
University Press, New York.
-
Robert H. Nelson, 2001. Economics as Religion. Pennsylvania State
University, University Park.
-
Paul Ormerod, 1994. The Death of Economics, Faber & Faber, London.
REVIEW JURNAL
I.
ABSTRAK
Koperasi
Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal
31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14,
yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah
wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon
untuk umum. Faktor
utama mengapa anggota berduyun-duyun
masuk adalah karena mereka dengan menjadi anggota merasa kepentingannya
terlayani dengan baik, lebih baik dibanding koperasi atau organisasi ekonomi
lain selain Kosudgama. Kosudgama adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali
menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk mengangkat
derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya
melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya Perseroan Terbatas.
Pelajaran apa yang dapat ditarik dari
pengalaman keberhasilan Kosudgama? Pertama, kesungguhan kerja pengurus
dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu
bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja
koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi
anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi
organisasi. Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan
organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal.
Prinsip
kedua ini terus dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha
baru hanya karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS
yang bisa untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang
dibuka harus merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota,
membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan
umum, dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Barangkali
cara lain menerangkan “sejarah” konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan
langsung menunjukkan adanya kata kerakyatan dalam Pancasila (sila ke 4) yang
harus ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di
antara 5 sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam
praktek ekonomi selama era pembangunan ekonomi Orde Baru.
II.
POINT POINT
1.
bahwa yang dimaksud ekonomi
rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan
konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi
melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk
memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi
yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk
(sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara
langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan
kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak
dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
2.
Ekonomi Rakyat dalam arti
yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang
kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah
dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat
seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh
pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha
menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia.
3.
Banyak
orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia
“tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena
mereka (orang awam maupun ilmuwan)
4.
Buku Anne Booth, yang
banyak mengacu pada buku-buku sejarah ekonomi penulis-penulis Belanda
menggambarkan dengan baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya
pada bab 7, Market and Entrepreneurs. Perkembangan sistem pasar di
Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang
diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”.
III.
PENUTUP
Satu
tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa
sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda
dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan
memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana
ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir
ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan
masayarakat di daerah. Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak
dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol
berpikir tentang ekonomi.
Kesimpulan
kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita
kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan
lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang
mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan
seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia adalah homo-economicus
cenderung mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan
kepentingan orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi
mengajarkan keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik
kepentingan ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi
rakyat, para sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak
konglomerat. Dan lebih gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau
melawan konglomerat, dianggap bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan
upah minimum propinsi (UMP) tidak diragukan bahwa jika tidak mau di sebut
“bukan ekonom” anda harus berpihak pada majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan
UMP “pasti berakibat pada meluasnya penggangguran”.
Dalam
menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin
mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia.
Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi
Indonesia menganggap bahwa globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter
productive” jika kita mati-matian melawannya. Benarkah demikian? Mengapa
kini banyak buku-buku “anti globalisasi” diterbitkan, dan sejumlah tokoh
ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz “memberontak” terhadap cara-cara
IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara miskin.
NAMA KELOMPOK :
MUHAMAD WILDAN A (24210615)
ADITIYA AMANDA (20210181)
MUHAMMAD RASYIID (24210779)
AGUNG MAULANA (20210294
Tidak ada komentar:
Posting Komentar