HUBUNGAN antara demokrasi dan ekonomi diaksiomakan oleh adanya paralelitas antara kebebasan sipil pada tingkat politik dan timbulnya kemakmuran pada level ekonomi. Zóltan Tibor Pállinger dalam Direct Democracy in Europe (1997: 9) menyebut demokrasi merupakan sistem yang memungkin politik berjalan efisien. Pada giliran selanjutnya, efisiensi di bidang politik mendorong timbulnya efisiensi bidang ekonomi. Apa yang kemudian penting digarisbawahi, pembangunan ekonomi mustahil bisa diwujudkan menjadi kenyataan manakala sebelumnya tak ada prasyarat demokrasi yang mendorong lahirnya kebebasan politik dan ekonomi.
Bahkan, Earl A. Thompson dan Charles Robert Hickson dalam Ideology and the Evolution of Vital Economic Institutions (2000: 13) berbicara tentang efisiensi ekonomi sebagai keniscayaan untuk menyimak keberhasilan demokrasi. Mereka dengan telak menggunakan istilah economic efficiency of democracy. Itulah mengapa, compang-campingnya perekonomian suatu bangsa merupakan cacat terhadap pelaksanaan demokrasi. Seberapa gegap gempitanya demokrasi dikumandangkan, tetap saja memiliki kebermaknaan yang terbatas manakala demokrasi gagal mendorong terciptanya efisiensi ekonomi.
Dalam perspektif yang lain, efisiensi ekonomi memiliki pengertian yang hampir sama dengan keadilan ekonomi. Robin Hahnel dalam Economic Justice and Democracy (2005: 5 dan 49) menyinggung adanya koherensi antara keadilan ekonomi dan keberhasilan melaksanakan demokrasi. Di sini, keadilan ekonomi dijadikan point of view kebermaknaan demokrasi. Keadilan ekonomi bisa dianalogikan sebagai mercusuar yang mampu memberikan arah kepada pelaksanaan demokrasi secara tepat. Dari sini kemudian lahir konsepsi demokrasi ekonomi yang berpijak pada prinsip economic-self-management.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana dengan Indonesia? Apakah demokrasi di Indonesia seiring sejalan dengan efisiensi ekonomi?
Dengan nada getir haruslah dikatakan, pelaksanaan demokrasi di Indonesia gagal menghadirkan efisiensi ekonomi. Terhitung sejak akhir dekade 1990-an, Indonesia menjadi negara demokratis di dunia. Bahkan, Indonesia ditengarai sebagai negeri paling demokratis di Asia Tenggara serta tercatat sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang mempraktikkan demokrasi. Tragisnya, aktor kekuasaan yang mendeterminasi perjalanan demokrasi tak cukup memiliki komitmen dan kapasitas menciptakan efisiensi ekonomi.
“Efisiensi ekonomi” yang dimaksudkan di sini mencakup di dalamnya keadilan ekonomi. Bagaimana sumber-sumber produktif dimanfaatkan secara optimal untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan berpijak pada prinsip efisiensi. Baik aspek regulasi, infrastruktur maupun daya dukung kelembagaan masuk ke dalam cakupan efisiensi tersebut. Dari pengertian ini lantas terkuak beberapa persoalan.
Pertama, kegagalan demokrasi mendorong terjadinya efisiensi ekonomi dapat disimak pada terus bertahannya ekonomi biaya tinggi. Sejak kekuasaan otoriter Orde Baru, ekonomi biaya tinggi telah sedemikian rupa membuncah menjadi persoalan besar. Pungli, suap dan sogok untuk memperlancar kegiatan usaha telah bergulir sejak era Orde Baru. Tragisnya, realitas buruk ini tak dapat diamputasi hingga pada kurun waktu pelaksanaan demokrasi dewasa ini. Misalnya, pungutan tanpa kejelasan parameter di wilayah pelabuhan menyangkut handling charge, kebersihan kontainer, dan jasa bongkar muat justru memicu mahalnya harga jual produk-produk impor. Inefisiensi ekonomi dalam konteks ini menyudutkan masyarakat konsumen sebagai tumbal pengorbanan.
Kedua, kegagalan demokrasi mendorong terjadinya efisiensi ekonomi terpatri pada buruknya infrastruktur. Sebagai infrastruktur yang kasat mata, jalan raya di berbagai pelosok Nusantara kini tak dapat diandalkan sebagai tulang punggung terciptanya efisiensi ekonomi. Justru, jalan raya mengalami degradasi makna dan fungsi pada era demokrasi kini. Padahal, pada era Orde Baru, jalan raya relatif lebih bisa diandalkan sebagai infrastruktur untuk memperlancar distribusi produk maupun mobilitas manusia. Pada era demokrasi kini kehancuran infrastruktur juga tercermin pada pola pemeliharaan. Perbaikan jalan di Pantai Utara Jawa (Pantura), misalnya, tak memandang penting efisiensi ekonomi. Sehingga tak mengherankan jika perbaikan jalan di Pantura itu malah memicu timbulnya kemacetan.
Ketiga, kegagalan demokrasi mendorong terjadinya efisiensi ekonomi terkait erat dengan lumpuhnya fungsi intermediasi bank. Ternyata, lembaga perbankan lebih cenderung menyimpang uangnya dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), ketimbang menyalurkannya ke sektor riil. Hingga akhir April 2010, dana SBI mencapai Rp 346,66 triliun. Jumlah ini merupakan peningkatan sekitar 49% dibandingkan periode sama 2009 sebesar Rp 233,45 triliun. Pembengkakan dana SBI ini berdampak pada beban bunga yang harus dibayarkan BI. Tak mengherankan jika pada 2008 Bank Indonesia mencatat surplus sebesar Rp 17,24 triliun, pada 2009 justru defisit sebesar Rp 1,009 triliun (lihat “Intermediasi Masih Bermasalah”, tajukRepublika, 15 Mei 2010).
Dengan permasalahan yang terang-benderang itu, sesungguhnya tak ada waktu mundur (time of no return) untuk melakukan koreksi terhadap perjalanan demokrasi kita. Problema pada tingkat filosofis dapat dirumuskan dengan kalimat: apalah artinya demokrasi jika tidak jua tercapai efisiensi ekonomi? Ini berarti, tidak mungkin para aktor demokrasi melihat trio persoalan yang dikemukakan di atas semata sebagai teknis perekonomian. Pada tiga persoalan di atas sesungguhnya termaktub tanggung jawab moral pelaksanaan demokrasi.
Terutama bagi para aktor demokrasi di parlemen, niscaya untuk menjadikan trio persoalan itu sebagai masalah kebangsaan. Jika trio persoalan itu tak ditemukan solusinya pada tingkat filosofi, teknis dan strategi, maka selama itu pula tak pernah tercipta koherensi antara demokrasi dan efisiensi ekonomi. Indonesia lalu menjadi negara demokratis yang menyedihkan.
SUMBER : http://anwariwmk.blog.com/2012/07/15/ekonomi-politik-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar