1.
PENGERTIAN PERIKATAN
Perikatan adalah hubungan hukum yang
terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga
sebaliknya.
Perjanjian adalah peristiwa di mana
pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal.
Dari perjanjian ini maka timbullah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara
kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.
Dengan
kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang
menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling
banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka.
Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
2. DASAR
HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
·
Perikatan yang timbul dari
persetujuan (perjanjian).
·
Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang
saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal
1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari
undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen).
·
Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan
perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3. AZAS-AZAS
DALAM HUKUM PERIKATAN
Azas-azas dalam hukum perjanjian
diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan
azas konsensualisme.
·
Azas kebebasan
kontrak
Azas kebebasan berkontrak yaitu
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan system terbuka, artinya bahwa dalam membuat
perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya
dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian
yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban
umum, dan norma kesusilaan.
·
Azas
konsensualisme
Azas konsesualisme, artinya bahwa
perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan
demikian, asas konsesualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat
antara para pihak yang mengikatkan diri, cakap untuk menbuat suatu perjanjian,
mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
4. WANPRESTASI
DAN AKIBAT – AKIBATNYA
Wansprestasi timbul apabila salah
satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa)
atau ingkar janji.
·
Adapun bentuk
dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2.
Melaksanakan apa yand dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
·
Akibat-akibat
Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa
hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat
digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.Membayar
Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti
rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni
·
Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
·
Rugi adalah kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si
debitor;
·
Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di
dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata.
Pembatalan
perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak
kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3.
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
5. HAPUSNYA
PERIKATAN
Bab IV Buku III KUH Perdata mengatur
tentang hapusnya perikatanbaik yang timbul dari persetujuan maupun dari
undang-undang yaitu dalampasal 1381 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut
menyebutkan bahwa adadelapan cara hapusnya perikatan yaitu :
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
3. Pembaharuan utang (inovatie)
4. Perjumpaan utang (kompensasi)
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
·
Adapun dua cara lainnya yang tidak
diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata adalah :
1. Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
2. Kadaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar